Mengenal Nabi Lebih Dekat

21 April 2013

Larangan Meminta Kepemimpinan (Syarah Hadits Abdurrahman bin Samurah Ridwanullah 'alaihi)




Matan Hadits:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika engkau mendapatkannya karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepada dirimu sendiru (tidak akan ditolong).”

Takhrij Hadits :

 Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahihnya no. 7146 di dalam bab “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah Akan Menolongnya dalam Menjalankan Tugasnya” dan no. 7147 di dalam bab “Siapa yang Meminta Jabatan Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak Mendapat Pertolongan dari Allah dalam Menunaikan Tugasnya).” Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim  dalam Shahihnya no. 1652

Penjelasan Hadits :

Hadits ini menerangkan tentang larangan meminta jabatan dalam Islam. Di mata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta jabatan merupakan sesuatu yang tercela, terbukti dari hadits di atas dan  beberapa hadits serupa. Antara lain:


[1] Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu :

Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:


يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” ( HR. Muslim no. 1825).

Imam Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini dalam al-Minhaj seraya berkata, “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi seseorang yang memiliki kelemahan untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya dan ia akan menyesali kelalaiannya.” (Syarah Shahih Muslim: VI/ 414-415).

[2] Hadits Abu Musa Radhiyallahu anhu:

Abu Musa Radhiyallhu anhu berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata, “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733).

[3] Hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu


إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kalian nanti akan berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. al-Bukhari no. 7148).

Kembali ke hadist Abdurrahman bin Samurah di atas yang menjadi bahasan utama, secara umum hadits ini bermakna: Orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. (Fathul Bari: XVI/ 629).

 Beberapa Faidah dari hadits Ini:

[1] Tercelanya perbuatan meminta-minta dalam Islam, khususnya meminta jabatan. 

[2] Barang siapa yang mengerjakan sesuatu sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia akan ditolong oleh Allah.  

[3] Ajakan untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila tidak pantas mendapatnya.\

[4] Salah satu ciri pemimpin muslim yang ideal dan baik adalah tidak meminta jabatan. Berbeda dengan orang yang meminta jabatan demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu jelas jauh dari kata ideal.

[5] Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa dan pemangku jabatan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan dan kedudukan dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.

[6] Larangan ini ditujukan kepada Sahabat yang tidak diragukan lagi bahwa mereka manusia yang paling paham akan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka sudah barang tentu orang-orang setelah mereka lebih utama dengan larangan ini.

 Beberapa Pertanyaan Seputar Hadits:

A]  Jika meminta kepemimpinan itu dilarang bagaimana dengan perkataan Nabi Yusuf Alaihis salam kepada penguasa Mesir: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55) dan juga Permintaan Nabi Sulaiman Alaihis salam Kepada Allah "Berikanlah aku kerajaan"?

Jawab :

Al-Imam Asy-Syaukani  berkata: “Nabi Yusuf  meminta demikian karena kepercayaan para Nabi kepada diri mereka dengan sebab mereka terpelihara dari perbuatan dosa (ma’shum). Selain itu, perkara yang telah kokoh (tsabit) dalam Syari’at kita tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena bisa jadi meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu diperbolehkan. Sedangkan permintaan Nabi Sulaiman keluar dari pembahasan ini, karena yang dibahas dalam masalah ini adalah permintaan terhadap makhluk bukan Khaliq, sementara Nabi Sulaiman meminta kepada Khaliq (Allah –Pen.)." (Nailul Authar:XV/ 408).

 B] Jika meminta jabatan itu dilarang maka bagaimanakah seseorang bisa menjadi pemimpin dalam Islam? Dengan Pemilihan Umumkah?

Jawab :

Ada beberapa metode yang ditempuh dalam Islam berkenaan dengan menentukan pemimpin:

[1] Imam yang lama menunjuk penggantinya. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar  Radhiyallahu anhu ketika mewasiatkan Umar bin Khatab Radhiyallahu anhu sebagai      penggantinya. (Silahkan lihat:  Shahih Bukhari hadits nomor 6674, Syarah Shahih  Muslim: XII/ 523-524 dan Syarhus Sunnah: X/ 81).

[2] Berdasarkan musyawarah ulama yaitu Ahlul Halli Wal Aqdi (semacam dewan yang memiliki otoritas). (Silahkan lihat: Syarhus Sunnah: X/ 81). Mengenai siapakah Ahlul Halli Wal Aqdi, bagaimana sifatnya dan apa tugasnya bisa merujuk kitab Ahlu Halli wal Aqdi Sifatuhum wa Wadha’ifuhum oleh DR. Abdullah bin Ibrahim At-Thariqi.   

[3] Imam (pemimpin-ed) menunjuk beberapa ulama sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi, untuk dipilih salah satu di antara mereka setelah imam meninggal dunia. (Silahkan lihat:  Shahih Bukhari hadits nomor 3424).

[4] Membaiat imam yang telah disepakati oleh kaum muslimin. (Silahkan lihat: Fawaid Manhajiyah Syarhus Sunnah Lil Barbahari: hal. 234).

Adapun Pemilihan Umum jauh dari ketentuan yang diberlakukan oleh Allah dan Rasulnya Shalawatullah 'alaihi wa salamuhu. Salah satu sebabnya adalah keikut sertaan wanita dalam pemilihan. Padahal ketika para Sahabat membaiat  Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah di Saqifah (ruangan besar beratap tempat pertemuan) milik suku Bani Sa’idah, tidak ada seorang perempuanpun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Terlebih al-Qur'an menjelaskan (yang artinya),

Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (QS. Ali ‘Imraan: 36(.

Kemungkaran lainnya adalah disejajarkannya suara muslim dan non muslim. Cukuplah firman Allah Rabbul Alamin sebagai bukti atas jauhnya hal ini dari kebenaran, yaitu (yang artinya),
 Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. al-Qalam: 35-36).

Jikalau demikan masihkah kewajiban untuk taat diberlakukan terhadap pemimpin muslim yang menang dari hasil Pemilu? Selama pemimpin itu Muslim tentu harus ditaati kecuali dalam perkara maksiat. Karena salah satu pokok Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah adalah mentaati pemimpin Muslim walaupun menjadi penguasa melalui kudeta, sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ahmad (Silahkan lihat: Syarh Ushul as-Sunnah: 71).

Demikianlah syarah Hadits yang singkat ini semoga kedepan Negara-negara kaum muslimin dapat menerapkan pemilihan pemimpin yang Islami dan mendapatkan Pemimpin yang baik pula. Namun perlu diingan bahwa itu semua tidak dapat terlaksana kecuali setelah ummat  mentauhidkan Allah Azza wa jalla, sebagaimana Janji Allah:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan (memberikan kemapanan) agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka.” (QS. An-Nuur: 55).

 Wallahu Ta'ala a'lam.

Rizqo Kamil Ibrahim


: Referensi
 
-          Syarhu Shohih Muslim,Imam an-Nawawi , (Beirut : Dar al-Ma'arif)cet : ke 18

-          Fathul Bari bi Syarhi Shohih al-  Bukhari,Ibnu Hajar al-Asqolani(Riyadh : Dar At-Toyyiba) cet : Ke 3

-          Nailul Athar min Asrari Muntaqa Al-Akhbar, Al-Imam Syaukani,Dar Ibnu al-Jauzy Cet : Ke 1 

-          Syarhussunnah, Al-Imam Al-Muhaddits Husain Al-Bagawi,( Beirut : al-Maktab al-Islamiy) cet : ke 1

-          Al-Fawaid al-'Aqdiyah wa al-Manhajiyah al-Mustanbatoh min ta'silat syarhi as-sunnah lil barbahari as-salafiyah, Abu Mua'dz Hasan al-'iroqi, (kairo : darul Imam Ahmad) cet : ke 1

-          Syarhu Usulu As-Sunnah, Syaikh Rabi' Al-Madkhali, (Dar al-Atsar), cet : ke 1

-           Kepemimpinan Dalam Islam, Aunur Rafiq Gufran , Majalah AL FURQON Edisi 3 Th III, hlm. 7-12

-          Hukum Meminta Jabatan, Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari, As-Syariah Online




0 komentar:

Posting Komentar

Arsip

Follow us on

Copyright © Jejak Nabi | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com